Sabtu, 21 Oktober 2017

Kenapa aku tidak bahagia? Kenapa kita tidak bahagia? Pertanyaan itu selalu terngiang-ngiang di telinga setiap manusia yang mencari-cari kebahagiaan, padahal kebahagiaan sudah ada di depan matanya.


Mungkin pertanyaan itu muncul karena kita tidak menyederhanakan ukuran kebahagiaan yang sesuai kebutuhan kita. Sibuk mengejar kebahagiaan orang lain yang menyenangkan menurut pandangan kita padahal itu bukan ukuran kebahagiaan kita. Takutnya, setelah kita dapatkan tenyata tidak semenyenangkan kelihatannya. Karena memang kita tidak cocok dengan ukuran kebahagiaan tersebut.

Mari kita renungkan lagi. Apa sih sebenarnya yang kita cari? Atau mungkin kebahagiaan akan kita capai hanya dengan menurunkan ukurannya saja? Seperti menikmati hidup dengan lebih sederhana, bersyukur dengan datangnya malaikat yang menggandeng tangan kita dan juga buah hati yang lucu dengan senyumnya yang menggemaskan. Tidak usah lagi mengejar setinggi-tingginya, sejauh-jauhnya yang hanya membutakan kita dan membuat kita gamang menghadapinya.

Kesombongan kita seringkali membuat kita merendahkan dan menjelek-jelekkan orang lain, hanya karena orang tersebut tidak sesuai penglihatan kita. Hanya karena orang tersebut tidak bicara atau melihat kita. Hanya karena orang tersebut cukup bodoh melakukan kesalahan. Kesenangan kita adalah ketika mudahnya menilai orang lain dengan standar kita sendiri. Tanpa pernah mau tahu: apakah kita mengenal orang itu? Apakah kita sadar keadaan orang itu? Apakah kita sedang tidak memaksa?


Seringkali kita ini lupa. Bahwa setiap orang punya standar masing-masing, punya kehidupan pribadi dan punya kelebihan juga kekurangan. Kita tidak bisa menggunakan standar kita untuk orang lain. Jika seperti itu, maka kesombongan sudah menggerogoti kita. Kita tidak bisa menghargai kelemahan orang lain. Kita tidak bisa menerima standar orang lain. Kita tidak bisa menyadari bahwa kesombongan sudah memakan rasa tenggang rasa kita. Sehingga kita suka memaksa, sementara orang lain tidak bisa.
Marilah kita bertanya pada diri sendiri sebelum menilai orang lain dengan buruk. Mengatakan orang lain bodoh, tidak becus, serta hal-hal buruk lainnya. Sudahkah kita coba merasakan perasaan orang lain? Sudahkah kita menghargai kelemahan, kekurangan dan tidak memaksakan kehendak kita? Jangan-jangan semua yang kita lakukan hanya sedang memuaskan hasrat kesombongan kita dan tidak mau memikirkan orang lain?

Kita seperti orang yang tak pandai berterima kasih. Padahal kita sudah menerima semuanya dari seseorang yang tak meminta pamrih. Dia sudah memberikan semua yang kita mau dan merelakan keinginan kita didahulukan. Dia merelakan seluruh malamnya berlelah-lelah. Tapi kita memang terlalu banyak mau.
Kita memandang beku semua hal baik yang sudah kita terima. Kita sudah membunuh impian-impian orang lain. Kita senang merusak harapan-harapan yang sudah ditujukan pada kita. Bahkan saat raganya bersatu dan jiwanya berdetak seiring dengan jantung kita.