Kamis, 10 September 2015

Bismillahirrohmanirrohim...


Ini adalah pagi yang begitu dingin, setidaknya itu yang saat ini kurasa. Dingin tidak seperti biasanya, dingin ini menusuk tidak hanya sampai ketulang tapi sampai ke sumsumnya. Jantungku juga ikut-ikutan terasa membeku. Setelah kupikir-kupikir ternyata pagi ini tidak lah sedingin 'dingin' mu. Entah apa yang membuatmu menjadi sedingin hyorinmaru. Sudah kesekian hari aku menghadapi 'dingin' mu, Wahai.

Aku tidak pernah ingin berburuk sangka terhadap semua ini, aku tahu kau punya alasan untuk ini semua. Tapi mau kah kau membaca suratku ini? Ahh... kenapa aku memintamu untuk hal yang hanya akan menghabiskan waktumu saja. Bukankah masih banyak hal yang lebih berguna yang bisa kau lakukan daripada membaca tulisanku yang bahkan tidak sepantasnya kau baca. Karena tanpa aku menulispun kau sudah tahu apa yang ingin aku katakan padamu. Itulah yang biasanya aku lihat darimu.



Baik, baik, aku ingin jujur. Aku juga sempat meragukan 'semua' nya. Ketika aku menghadapimu seperti ini ingin rasanya aku menyerah pada takdir dan berjalan sendirian. Tapi setiap kali aku ingin menyerah hatiku mengajakku untuk tetap pada keyakinan bahwa ini adalah bagian dari perjuangan mendapatkan cinta yang 'sungguhan'.

Wahai...
Kini tak ada lagi yang bisa aku sampaikan. Hanya kerinduan yang ingin aku curahkan tapi sepertinya kata-kata tak akan sanggup menyampaikan. Kata orang, jika lelaki menangis maka tangisannya itu tulus. Ah mungkin saja begitu.

Aku hanya ingin kau percaya bahwa aku tak akan pernah menyerah (lagi) dan tak akan pernah ingin berpikir untuk menyerah (lagi). Aku tahu bahwa kau begini karena dua hal, pertama kau takut terlalu mencintaiku sehingga perasaan itu akan mengekang dan kedua kau takut aku menyakitimu (lagi). Aku mengerti. Bahwa hati yang sudah pernah tersakiti tak akan mudah untuk percaya lagi. Aku pun tak akan memaksakan hal itu padamu.

Kini jalani saja apa yang kau yakini, aku pun juga akan begitu. Menjalani apa yang semestinya aku jalani untuk menggapai cita-cita menjadi lelakimu. Ingatlah, setiap genggaman tangan, kecupan, pelukan dan sebagainya yang pernah kita rasakan, ku sisipkan perasaan yang selalu aku bawa-bawa dimanapun aku berada. Itu adalah perasaan yang tidak pernah berubah sejak kedekatan kita. Dia adalah perasaan yang membawaku sampai senekat ini mendekatimu. Perasaan itu adalah bahwa kau takdir dimasa depanku.

Jumat, 04 September 2015

Bismillahirrohmanirrohim...


Selalu kumulai setiap surat-suratku dengan menyebut nama Tuhanku Yang Kasih-Nya Meraja, Yang Maha Membolak-balikkan hati, Yang dengan Kuasa dan Ketetapan-Nya lah makhluk tunduk. Dengan Nya pulalah aku bisa menulis surat-surat ini dalam keadaan penuh dengan cinta terhadapmu, rindu akan hadirnya cintamu...

Ohh Wahai Jantungku...
Yakinkah engkau dengan ketentuan-Nya? Bahwa setiap segala sesuatu di dunia ini bukanlah kehendak diri kita sendiri, melainkan hanya semata-mata karena ketentuan-Nya. Sedangkan kita hanya #akting menjalankan ketentuan-Nya tersebut.

Ohh Wahai Jantungku...
Seperti belakangan ini ketika aku dipenuhi oleh cinta terhadapmu, sejak dulu sudah begitu. Sempat beberapa lama kita tidak saling tegur sapa karena aku pergi meninggalkanmu. Tapi cinta itu tetap di tempatnya. Ahh aku tau kau pasti berkata "itu tidak mungkin. Kamu berbohong." haha. Dengarlah Wahai Kekasihku cerita dariku ini.

Apakah kau tau jika kita akan selalu kembali pulang ke rumah meski kita sudah bertualang kemanapun? Ya, tidak ada tempat yang lebih baik dan lebih nyaman dibanding rumah. Mungkin ini adalah ketentuan-Nya, lagi-lagi ketentuan-Nya, bahwa memang cintaku ini hanya ditujukan untukmu, hatiku dicondongkan kepadamu. Dan engkaulah (semoga) yang menjadi 'rumah'ku. Jika kau bertanya apakah ada sesuatu yang belum selesai antara kita, aku jawab ya! Ada kisah yang Tuhan inginkan untuk kita agar kehidupan kita lengkap. Ada cerita dariku yang belum lengkap tanpamu dan begitu juga denganmu, ada kisah kehidupanmu yang hanya bisa dilengkapi dengan kehadiranku.


Lalu apakah ini sebuah kesalahan, Wahai Jantungku? Jika Allah membalikkan hatiku kembali untuk mencintaimu, apakah aku harus berdoa agar aku tidak mencintaimu? Tidak, tidak. Aku akan menjalani derita cintaku kepadamu sebagaimana tugas seorang pecinta. Yaitu mencinta dengan setulus hati tanpa bertanya-tanya kenapa aku diberi tugas untuk mencintaimu lagi.

Aku yakin bahwa semua ini adalah jalan kebaikan bagi kita, entah apa yang Tuhan inginkan. Tapi yang jelas akan baik akhirnya, karena kita pun memulainya dengan baik. Bukankah begitu? :)

Di Medan Tempur
Waktu Antara Dzuhur dan Ashar
Katup Kananmu