Sabtu, 27 Juni 2015

Antara Adzan & Sruputan Teh Hangat

Bismillahirrohmanirrohim...


Hai, kamu... Iya kamu.
Aku tulis surat kesekian buat kamu. Kamu yang masih sedikit beku, meski sebagian sudah cair. Heuheuheu. Bagaimana keadaanmu?

Ahh...
Bahkan aku yang tau keadaanmu saja masih lancang bertanya seperti itu disurat ini. Apakah aku ini bodoh? Tidak, aku tidak bodoh. Hanya saja aku tidak tahu harus memulai darimana percakapan ini. Dulu, aku lupa bagaimana kita bercakap-cakap saat pertama kali. Bahkan sampai aku memaksa diriku untuk mengingat, tetap tidak berhasil.

Aku hanya ingat saat itu aku menemanimu sampai pagi. Entah atas motivasi apa aku menemanimu, bahkan waktu itu mengobrol sesekali saja tidak pernah.

"Aku lagi diluar nih, ada yang nyamperin aku ngajak kenalan" Pesan singkatmu waktu itu. 

Dengan segala harga diriku sebagai pria, entah kenapa pula aku menjadi agak 'cemburu' dan 'takut'. Padahal sah-sah saja seandainya kamu dan lelaki itu berkenalan. Tapi karena sudah terlanjur begitu perasaanku, dengan lantang aku balas pesan singkatmu.

"Wah... Bahaya, kamu masuk ke dalem aja. Aku takut kamu diapa-apain"
"Tapi aku ngantuk kalo di dalem..."
"Duh... Gimana ya.. Ya udah ga usah diladenin. Kenalan aja"

Aku sudah bingung rasanya harus berkata apalagi. Ingin rasanya aku yang mengantarmu menyeberangi selat sunda dan menjagamu dari tangan-tangan lelaki yang ngajak kenalan malam-malam seperti itu. Tapi, sekali lagi tapi, oh wahai... Hatiku dibuat berdenyut kencang ketika kau mengatakan bahwa lelaki itu minta nomor handphone-mu.

Rasanya ingin ku ambil panah dan melesatkan anak panah ke arah kapal feri yang tengah membawamu saat itu dan mengarahkannya tepat kepada orang yang ada didekatmu. Bisa kupastikan bahwa lelaki itu yang aku panah. Tapi dengan sedikit gemuruh dihati aku hanya berucap, "Ya jangan dikasih lah..."


Ohh... kenapa sampai aku memerintahmu seperti itu? Bukan hak ku untuk melarangmu memberinya kan? Tapi..... Tapi... ahhh kenapa denganku ini?

Tak semestinya aku bertingkah seperti ini terhadapmu, Wahai. Hemmm, tak habis pikir saja kenapa tiba-tiba aku merasa cemburu dan takut terhadap semua kejadian yang kau alami. Tapi yang pasti setelah kejadian itu aku tersadar bahwa kamu adalah wanita yang aku sukai. Dan sejak percakapan kita waktu itu, berlanjutlah kepada percakapan-percakapan indah lainnya sebelum kau dan aku membeku karena rusaknya perasaan kita masing-masing sebab salahku.

Aku ingin memulai surat ini, tapi sepertinya aku memulai dengan sedikit berantakan dan aku sudah bercerita terlalu panjang untuk hal tersebut. Oh Wahai, bagaimana kalau aku selesaikan saja suratku kali ini. Kulihat jam dinding sebentar lagi masuk waktu adzan maghrib dan saatnya berbuka.

Melalui surat ini juga aku ingin mengucapkan selamat berbuka padamu. Entah ini ucapan yang keberapa, tapi yang jelas setiap berbuka aku mendoakanmu agar tidak hanya aku yang berbuka sendiri, aku masih berharap ada kamu diantara sela-sela adzan dan sruputan teh hangat yang aku minum. Dan dengan senyumanmu itu, rasa ingin makanku hilang dan berganti ingin bermesraan denganmu seperti sepasang bangau di tepian sawah dan bermandikan cahaya senja. Wahai...

Menjelang Waktu Maghrib,
Di Medan Perang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar