Selasa, 30 Juni 2015

Bismillahirrohmanirrohim...


Oh Wahai...
Sejak kemarin aku merasa tak enak hati, hatiku berdebar-debar entah kenapa. Bahkan aku sampai susah tidur dibuatnya. Rasa hati yang seperti itu, kalau boleh aku gambarkan, seperti saat kau ingin mengucapkan cinta tapi kau sudah takut untuk ditolak, tapi kau harus tetap mengatakannya meski kau harus mengucapkannya didepan orangtua si wanita.

Kau pernah berada pada posisi itu, kawan? Ahh.. aku rasa tidak pernah. Aku pun juga tidak pernah berada pada posisi itu. Hahaha. Tapi seperti itu tidak enaknya rasa yang aku rasakan sejak kemarin. Dan wahai... apakah kau tahu bahwa aku sudah menemukan jawabannya kenapa hatiku merasa tidak enak?

Adikku, Rofa', yang senang sekali duduk-duduk di bale depan rumahku dan menghadap ke timur. Dia adalah adikku yang pertama, dia suka sekali makan mie. Tapi jangan sekali-sekali ajak dia makan sayur. Bisa muntah-muntah dia. Jika nanti kau main ke rumahku dan ada lelaki tinggi tapi tidak gemuk dan memiliki hidung yang agak besar dan memegang tisu, kupastikan itu adalah Rofa'. Dia sangat resik sekali. 

Lalu apa hubungannya resahku dengan Rofa'? Ya, memang tak ada, wahai.. Aku hanya ingin bercerita tentang dia saja padamu. Siapa tahu kau mau bertanya agar aku tidak seperti 'pendongeng' yang bercerita sendiri dalam suratku ini.

Aku tak habis pikir, kenapa wanita suka sekali menilai lelaki dengan hal-hal yang bagi kami, kaum lelaki, begitu tidak wajar.


"Jadi maksudmu, aku ini menilai dengan tidak wajar." Sergahmu, wahai..
"Bukan, maksudku agak 'aneh' gitu penilaian wanita terhadap lelaki, wahai..."
"Aku tak mengerti maksudmu." Jawabku dengan sambil berlalu pergi.

Aku coba menahanmu yang sudah dipenuhi rasa kesal karena jawabanku. Tapi, wahai, kau sudah terlanjur pergi waktu itu ketika kita bercengkerama diatas balkon masjid disamping KBT (Kanal Banjir Timur) yang sering disebut BKT (Banjir Kanal Timur) oleh orang-orang.

Ahh... Aku merusak harimu lagi. Baru saja aku senang kita bisa bercengkerama kembali. Tapi lagi-lagi aku merusaknya. Bahkan aku sampai berpikir bahwa ini adalah pertemuan kita terakhir kalinya.

Mungkin itu adalah keresahan yang sudah dirasakan hatiku. Dengan pertanda tidak enak hati sejak kemarin.

Aku bercerita dengan Rofa', bahwa pikiran wanita itu njelimet terhadap pria. Iya, adikku memahaminya mungkin karena kami sama-sama lelaki. Aku bercerita bahwa penilaian yang dilakukan wanita begitu tidak wajar. Lelaki itu selalu dinilai dari sisi 'jahat' nya terlebih dahulu dan melupakan sisi 'malaikat' nya.

Jadi gini, jika kau hidup 100 tahun bersama wanita. Lalu pada tahun ke-100 kamu melakukan kesalahan, maka dia akan bilang bahwa tidak pernah ada kebaikan bersamamu selama 100 tahun. Hahaha

Ya kan? Njelimeti sekali. Aku bahkan tidak habis pikir jika wanita bisa berpikiran seperti itu. Sangat berbeda sekali dengan lelaki. Jika wanitanya sedikit 'beda' maka lelaki tidak lantas menyalahkan si wanita karena sikapnya yang agak 'aneh' itu. Tapi dia akan mencari tahu dari sisi buruk dirinya sendiri dulu. Lelaki akan berpikir, "mungkin aku yang sudah berbuat salah hingga dia begini", "dia pasti begini karena aku..." dan lain-lain dan lain-lain.

Dan pikiran lelaki itu sangat jauh dari penilaian-penilain tidak wajar. Lelaki berpikir begitu sederhana. Jika mencintai wanita, ya cinta saja, meski si wanita segalak apapun, se-egois apapun, lelaki selalu dapat melihat sisi kecil yang cantik dari si wanita dan membuat dirinya merasa berharga karena sudah jatuh cinta terhadap wanitanya. Bagi kami, wahai, kaum lelaki, cinta begitu sederhana. Sesederhana cintanya Ayam Jantan terhadap Ayam Betina yang jika cinta ya sudah langsung .... heuheuheu

Tapi aku tahu, wahai, kau berpikir bahwa manusia tidak bisa disamakan dengan ayam. Manusia memiliki akal dan pikiran untuk memilih dan menentukan yang baik dan buruk. Tapi aku akan bercerita padamu, bahwa apa yang kamu lihat dengan mata pengamatanmu tidak akan pernah sampai pada 'rahasia' lelakimu. Dan kesederhanaan cinta manusia harusnya sampai membuat 'tiada' cacat yang dilihat, karena jika ada 'cacat' manusia akan makin mencintainya dengan cara membawanya kepada kesempurnaan bukan malah mengihina 'cacat' itu dan membiarkannya tetap ada.

Aku tahu, mungkin saat ini kau sudah tidur dalam kekesalanmu. Hehehe. Sambil menulis surat ini yang aku tahu pasti tidak akan kamu balas lagi, aku membuat diriku jatuh cinta lagi terhadap semua kekuranganmu, membayangkan wajah polosmu tertidur sambil ileran dan menopang bantal dipipi. Membayangkan kamu yang pulas sambil memegang hape sebab menunggu chat dariku. Hahaha yang terakhir sepertinya tak mungkin, wahai...

Sudah lah, kuakhiri saja monolog ku kali ini yang mana aku sok tahu tentang cinta, padahal membuatmu jatuh cinta saja aku tak bisa. Yang penting kamu tahu, bahwa aku mencintaimu secara sederhana seperti mampu jatuh cinta hanya dengan kekurangan-kekuranganmu dan bercumbu dengan kemarahanmu.

Ba'da Isya

Di Medan Perang

Senin, 29 Juni 2015


Aku adalah Topeng
Topeng yang menutupi wajah yang bopeng
Padahal diri masih 'ngempeng'
Dan juga tidur beralaskan seng

Aku adalah Muka
Yang berisikan mimik-mimik dua
Kadang terlihat memuja
Kadang terlihat menghina

Aku adalah ketika adzan Dzuhur berkumandang
Panggilan datang untuk berhadapan
Tertuang semua dalam untaian
Sampai tak sanggup lagi mengucapkan

Aku adalah dirimu sebelum ditutupi kemunafikan
Yang hadir karena tali persaudaraan
Yang tidak peduli atas fitnahan
Yang tidak merasa dipinggirkan

Aku adalah dirimu sebelum ditutupi kemunafikan
Yang menganggap semua adalah kawan
Yang berencana untuk membuka hutan
Dan menjadikan itu sebagai lahan garapan

Aku adalah bentuk kesetiaan
Kesetiaan terhadap keyakinan
Bahwa tidak ada pertemuan
Tanpa diakhiri perpisahan

Aku adalah kamu
Kamu yang membenci kebenaran
Meski datang dari persahabatan
Dan hancur dari persahabatan

---
Pembaringan
Syaiful Bahri

Kulihat hujan turun
Pertanda berkah datang berduyun-duyun
Pedagang masih saja bercengkerama
Menjajakan apa apa yang dia punya

Sang Singa dan Sang Raja masih cari suara
Tapi tidak melihat derita bangsa
Bagaimana cara untuk menutupi
Pedih hati yang sangat menyiksa diri

Tuhan... Kapankah derita ini pergi
Kami memohon dengan rendah diri
Bahwa tiada lagi yang patut kami datangi
Untuk meminta dibebaskan dari kemelut diri

Kami tau Kau anugerahi kami 'Surga'
Namun berikan juga kami kekuatan
Agar kami mampu melawan
Tuduhan-tuduhan dari Semesta

---
Pembaringan
Syaiful Bahri
Karya : Supardi  Djoko Damono

Pada suatu hari nanti,
Jasadku tak akan ada lagi,
Tapi dalam bait-bait sajak ini,
Kau tak akan kurelakan sendiri.

Pada suatu hari nanti,
Suaraku tak terdengar lagi,
Tapi di antara larik-larik sajak ini,
Kau akan tetap kusiasati.

Pada suatu hari nanti,
Impianku pun tak dikenal lagi,
Namun di sela-sela huruf sajak ini,
Kau tak akan letih-letihnya kucari.


Sabtu, 27 Juni 2015

Bismillahirrohmanirrohim...


Hai, kamu... Iya kamu.
Aku tulis surat kesekian buat kamu. Kamu yang masih sedikit beku, meski sebagian sudah cair. Heuheuheu. Bagaimana keadaanmu?

Ahh...
Bahkan aku yang tau keadaanmu saja masih lancang bertanya seperti itu disurat ini. Apakah aku ini bodoh? Tidak, aku tidak bodoh. Hanya saja aku tidak tahu harus memulai darimana percakapan ini. Dulu, aku lupa bagaimana kita bercakap-cakap saat pertama kali. Bahkan sampai aku memaksa diriku untuk mengingat, tetap tidak berhasil.

Aku hanya ingat saat itu aku menemanimu sampai pagi. Entah atas motivasi apa aku menemanimu, bahkan waktu itu mengobrol sesekali saja tidak pernah.

"Aku lagi diluar nih, ada yang nyamperin aku ngajak kenalan" Pesan singkatmu waktu itu. 

Dengan segala harga diriku sebagai pria, entah kenapa pula aku menjadi agak 'cemburu' dan 'takut'. Padahal sah-sah saja seandainya kamu dan lelaki itu berkenalan. Tapi karena sudah terlanjur begitu perasaanku, dengan lantang aku balas pesan singkatmu.

"Wah... Bahaya, kamu masuk ke dalem aja. Aku takut kamu diapa-apain"
"Tapi aku ngantuk kalo di dalem..."
"Duh... Gimana ya.. Ya udah ga usah diladenin. Kenalan aja"

Aku sudah bingung rasanya harus berkata apalagi. Ingin rasanya aku yang mengantarmu menyeberangi selat sunda dan menjagamu dari tangan-tangan lelaki yang ngajak kenalan malam-malam seperti itu. Tapi, sekali lagi tapi, oh wahai... Hatiku dibuat berdenyut kencang ketika kau mengatakan bahwa lelaki itu minta nomor handphone-mu.

Rasanya ingin ku ambil panah dan melesatkan anak panah ke arah kapal feri yang tengah membawamu saat itu dan mengarahkannya tepat kepada orang yang ada didekatmu. Bisa kupastikan bahwa lelaki itu yang aku panah. Tapi dengan sedikit gemuruh dihati aku hanya berucap, "Ya jangan dikasih lah..."


Ohh... kenapa sampai aku memerintahmu seperti itu? Bukan hak ku untuk melarangmu memberinya kan? Tapi..... Tapi... ahhh kenapa denganku ini?

Tak semestinya aku bertingkah seperti ini terhadapmu, Wahai. Hemmm, tak habis pikir saja kenapa tiba-tiba aku merasa cemburu dan takut terhadap semua kejadian yang kau alami. Tapi yang pasti setelah kejadian itu aku tersadar bahwa kamu adalah wanita yang aku sukai. Dan sejak percakapan kita waktu itu, berlanjutlah kepada percakapan-percakapan indah lainnya sebelum kau dan aku membeku karena rusaknya perasaan kita masing-masing sebab salahku.

Aku ingin memulai surat ini, tapi sepertinya aku memulai dengan sedikit berantakan dan aku sudah bercerita terlalu panjang untuk hal tersebut. Oh Wahai, bagaimana kalau aku selesaikan saja suratku kali ini. Kulihat jam dinding sebentar lagi masuk waktu adzan maghrib dan saatnya berbuka.

Melalui surat ini juga aku ingin mengucapkan selamat berbuka padamu. Entah ini ucapan yang keberapa, tapi yang jelas setiap berbuka aku mendoakanmu agar tidak hanya aku yang berbuka sendiri, aku masih berharap ada kamu diantara sela-sela adzan dan sruputan teh hangat yang aku minum. Dan dengan senyumanmu itu, rasa ingin makanku hilang dan berganti ingin bermesraan denganmu seperti sepasang bangau di tepian sawah dan bermandikan cahaya senja. Wahai...

Menjelang Waktu Maghrib,
Di Medan Perang